Sunan Pakubuwono X, Sang Pengecoh Belanda
Semasa
berkuasa selama 46 tahun (1893 – 1939), Pakubuwono X menjadi
pendorong di balik layar pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Pada
masa itu, Surakarta menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang dapat
mengibarkan bendera gula kelapa atau Merah Putih, bukan
bendera Belanda. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi
dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup
panjang,
Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan
tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik
di Hindia-Belanda.
(Upacara penobatan Pakubuwono X sebagai raja Kasunanan
Surakarta ke sembilan pada tahun 1893. Tampak pada gambar Pakubuwono
X berjalan di bawah payung kebesaran, bersama dengan Residen
Surakarta O.A. Burnaby Lautier dan para bangsawan serta abdi dalem)
Nama
lahirnya (asma timur) adalah GRM. Sayiddin Malikul Kusno,
putra Susuhunan Pakubuwono IX yang lahir dari permaisuri KRAy.
Kustiyah (putri dari Pangeran Wijoyo II), pada tanggal 29
November 1866. Pakubuwono IX sendiri adalah putra dari Susuhunan
Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda atas tuduhan pengkhianatan dan
dukungannya terhadap Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825-1830). Jadi
Pakubuwono X adalah cucu Pakubuwono VI, maka dalam garis perjuangannya melawan
kekuatan Belanda, beliau tidak pernah mengabaikan pesan dan terus melanjutkan
perjuangan jejak kakeknya.
GKR. Ageng, janda Sunan Pakubuwono
VI beserta putri putri
Apalagi sejak
kanak-kanak ia diasuh oleh janda Sunan Pakubuwono VI, GKR. Ageng.Dari kecil ia
selalu dimanja. Sebelum Malikul Khusna kecil menginjak usia dewasa, jika tidur
ia selalu ikut neneknya di kediamannya di Kagengan. Tapi setelah
dewasa, ia dibuatkan rumah di kadipaten bernama Sasana Hadi.
GRM.
Sayiddin Malikul Kusno dilahirkan pada hari Kamis legi tanggal 22 Rajab
Tahun 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 November 1866 pada pukul 07.00
pagi. Waktu mengandung, KRAy. Kustiyah (GKR. Pakubuwono) ngidam
dhahargedang pakis raja, yang dengan susah payah dicarikan
seorang kerabat dan diketemukan di rumah Jan Smith di Desa Gumawang.
Kelahiran Sayiddin Malikul Kusno disambut oleh para sentana/kerabat
dengan bunyi meriam dan segala tetabuhan serta terompet lengkap dengan bunyi
gaamelan Kodok Ngorek sebagai wujud syukur atas kelahiran calon pengganti raja
yang ditunggu-tunggu. Pada usia 3 tahun Sayiddin Malikul Kusno
telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojoputro Narendro ing Mataram VI.
(Sunan Pakubuwono IX bersama GKR. Pakubuwono)
Konon,
kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya
dengan pujangga R.Ng. Ronggowarsito. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru
mengandung, Pakubuwono IX bertanya apakah anaknya kelak lahir
laki-laki atau perempuan. Ronggowarsito menjawab kelak akan
lahir hayu. Pakubuwono IX kecewa mengira anaknya akan
lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra
mahkota dari KRAy. Kustiyah. Selama berbulan-bulan Pakubuwono
IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan.
Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwono
IX dengan bangga menuduh ramalan Ronggowarsito meleset. Ronggowarsito menjelaskan
bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau
“cantik”, tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti “selamat”.
Mendengar jawaban Ronggowarsito ini, Pakubuwono IX merasa
dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa
berat. Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwono
IX dengan Ronggowarsito sebenarnya dipicu oleh fitnah
pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwono
VI dengan keluarga Yosodipuro.
BRAy Sumarti, yang kemudian bergelar
GKR. Pakubuwono (putri Sri Mangkunegoro IV), permaisuri Pakubuwono X
(menikah 7 Agustus 1890,) yang pertama
(Pakubuwono X sewaktu menikah dengan BRAj. Mur Sudarinah
(Putri Sri Sultan Hamengkubowono VII, yang kemudian bergelar GKR Hemas,
di Keraton Surakarta, 27 Oktober 1915)
Pakubuwono X juga berhasil menyatukan trah Dinasti Mataram
yang terpecah sejak tahun 1755 melalui pernikahan. Setelah tidak dapat memiliki
keturunan dari permaisurinya, GKR. Pakubuwono, beliau menikah lagi dengan putri
Sultan Hamengkubuwono VII dari Kesultanan Yogyakarta yang bernama BRAj. Mur
Sudarinah. Pernikahan agung kedua kerajaan itu berlangsung pada 27 Oktober
1915, dan setelah diangkat menjadi istri permaisuri, BRAj. Mur Sudarinah
bergelar GKR. Hemas.
Pakubuwono X saat berkunjung ke
Keraton Yogyakarta pada tahun 1932. Kedatangan beliau disambut langsung oleh
Hamengkubuwono VIII beserta Residen Yogyakarta.
Setelah empat tahun menikah, pada Selasa 25 Maret 1919,
permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Emas melahirkan seorang putri, dan diberi nama
Gusti Raden Ayu Sekar Kadhaton Kustiyah. Namun saat dewasa berganti nama
menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.
Pakubuwono X bersama-sama GKR Hemas
dan putri tunggal, GKR Sekar Kedaton
Ketika Raja berusia 57 tahun, pada Kamis 30 Agustus 1923,
Susuhunan Paku Buwono X mendapat gelar baru berpangkat Letnan Jendral. Sehingga
sejak saat itu, memakai sebutan baru Ingkang Wicaksana didepan
gelar Jendral Mayor. Empat bulan setelah penganugerahan gelar itu, tepatnya
pada Kamis 4 Januari 1924, prameswari dalem GKR Pakubuwana
meninggal, sehingga membuat rasa kesedihan yang mendalam bagi Susuhunan Paku
Buwono X.
Paku Buwono X juga tercatat memiliki 40 selir yang
memberinya 64 anak. Dengan fakta ini, beliaulah pemegang rekor selir terbanyak
dibandingkan pendahulu maupun penerus beliau. Hamengku Buwono II memiliki 4
permaisuri dan 26 selir yang memberikan 80 orang keturunan. Raja-raja yang
belum lama mangkat, Pakubuwono XII (bertahta 1945-2004) memiliki enam selir
tetapi tidak berpermaisuri, sedangkan Hamengkubuwono IX (bertahta 1941-1987)
memiliki 5 isteri tetapi tidak berselir.
Sosok Susuhunan Paku Buwono X memang mejadi sosok raja
paling istimewa dalam dinasti Mataram- Surakarta. Istimewa, sebab banyak cerita
lisan yang mengisahkan betapa saktinya sang Raja. Seorang abdi dalem keraton
menceritakan tentang kesaktiannya menghentikan banjir hanya dengan menunjuk ke
air bah yang sedang melanda. Konon ia juga merupakan raja yang ‘upata’ nya
sangat manjur. Orang bisa berubah seketika, jika raja sudah murka dan
menyumpahinya. Mungkin itu hanya sekedar cerita-cerita lisan sebagai ‘bumbu’
betapa raja atau pemimpin itu memang harus dihormati dan ditakuti, disamping
kultus raja yang melekat karena memang masih mempunyai ‘kewingitan’. Susuhunan
Paku Buwono X juga dikenal sebagai raja dermawan yang selalu bersedekah dengan
cara menyebar udhik-udhik atau uang recehan setiap kali
bepergian.
Raja yang baru itu tergolong mampu dalam mengurus negara,
mahir dalam semua bidang, seperti bermacam-macam tari, ahli dalam bidang
kalukitan, menciptakan banyak serat atau kitab, tertarik dalam dunia karawitan,
dan banyak menciptakan gendhing. Ia juga mendalami ilmu persenjataan, banyak
membuat berbagai macam senjata dan keris, menguasai pengetahuan mengenai kuda
dan tunggangan, sebab ia juga dikenal sebagai raja yang penyayang kepada
binatang.
Selama Susuhunan Paku Buwono X memegang tampuk pemerintahan,
keadaan negara nyaris tanpa kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang
membuat kesejahteraan. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam
hal bangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Begitu juga ketika
Susuhunan Paku Buwono X bertahta, banyak perubahan dan mampu menciptakan
kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat se-negara.
Pakubuwono X menerima kunjungan Raja Siam, Rama V, di Sasana
Sewaka, Keraton Surakarta (sekitar akhir abad ke 19)
Pakubuwono X menerima kunjungan gubernur jenderal Indochina-Perancis, H.E.P.
Pasquier, di Sasana Sewaka, Keraton Surakarta (sekitar tahun 1930-an).
Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwono X memberikan kredit
untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia
mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat
keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada
masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gedhe
Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Stadion
Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang
melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman
Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan
hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan
(pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dalam bidang pendidikan, beliau
juga mendirikan sekolah-sekolah, termasuk Mambaul Ulum dan Pamardi Putri di
Kasatriyan.
Dalam bidang keagamaan, Pakubuwono X mengadakan perombakan
besar-besaran pada bangunan fisik Masjid Agung Surakarta, serta Masjid Kotagede
dan Masjid Imogiri yang masuk dalam wilayah enclave Kasunanan Surakarta di
dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan beliau,
pembacaan kitab-kitab agama dilangsungkan pada hari Rabu malam Kamis, bertempat
di Bangsal Pracimarga. Pembacaan diatur secara bergantian dan dipilih diantara
mereka yang telah pandai. Pada pertemuan itu R. Penghulu menguraikan
isi kitab yang baru saja dibaca. Pada hari Kamis Malam Jumat, Pakubuwono X
melakukan udhik-udhik (sedekah artinya menyebar dana uang).
Pakubuwono X melakukan ritual agama di beberapa tempat tertentu, yaitu berupa
pemberian uang sedekah yang disebarkan kepada rakyat.
Pakubuwono X pernah datang di Masjid
Demak untuk melakukan shalat sunnah. Beliau juga memerintahkan permaisuri dan
para putri serta para abdi dalem wanita untuk beziarah ke makam Sunan Kalijaga.
Pada awal didirikannya Masjid Agung Surakarta tidak sebesar dan semegah
sekarang. Pakubuwono X sebagai raja yang memerintah berikutnya banyak melakukan
perbaikan Masjid Agung Surakarta, baik mengenai bangunan, perabotnya maupun
dekorasinya. Aktivitas memakmurakan masjid tertata dengan rapi mulai dari
aktivitas harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Majelis taklim tersedia bagi
anak-anak remaja dan orang tua. pendidikan kegamaan bagi keluarga Sunan
dilaksanakan di Istana dan dilaksanakan oleh Abdi Dalem Mutihan.
Pakubuwono X sendiri belajar ilmu agama dari Abdi Dalem Mutihan tersebut,
yaitu kepada Bagus Raden Panji Affandi Muhammad Muqaddas, saudara Penghulu
Tafsir Anom V. Waktu Pakubuwono X masih remaja, guru-guru
mengajinya adalah Kyai Shalekhah, Kyai Yahya, Kyai Pujiwidada, sedang Kyai Anip
adalah seorang khoja diangkat sebagai guru untuk doa-doa terpilih. Pakubuwono X
juga terkenal mahir dalam dunia karya sastra, salah satu karya beliau adalah
Serat Wulangreh Putri.
Pakubuwono X merupakan tokoh sentral yang membingungkan.
Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh ke-13 orang residen dan gubernur
Belanda yang ditempatkan di Surakarta sejak tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan
orang Belanda menganggap beliau lemah, tidak cakap, serta patuh. Memang
Pakubuwono X tidak memperlihatkan sikap keras, apalagi hidupnya mewah, doyan
makan enak, senang mengenakan pakaian kebesaran dengan lencana dan
bintang-bintang kehormatan (bahkan orang Belanda sering menyindir, bahwa tanda
kebesaran yang dikenakan Pakubuwono X secara berlebihan bahkan sampai dipunggunngnya
pun tanda kebesaran itu masih dipasang). Belanda juga menganggapnya percaya
pada takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia punya kekuatan gaib guna
menyembuhkan orang sakit, memiliki keris dan senjata yang serba sakti.
Nyatanya, dalam perkembangan selanjutnya, gambaran Pakubuwono X berbeda.
Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan beliau.
Pakubuwono X bersama
Residen J.J. van Helsdingen dalam sebuah upacara di Keraton
Surakarta, sekitar tahun 1935
Pakubuwono X sendiri merupakan raja
yang gemar melaksanakan upacara kerajaan secara besar-besaran, tak hanya
melibatkan para bangsawan, namun juga masyarakat umum. Beliau juga gemar
mengenakan pakaian kebesaran selama bertatap muka dengan rakyat dan ketika
melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah. Pakubuwono X selain sebagai
seorang raja, beliau juga gemar melakukan bisnis. Tak heran, begitu banyak aset
kekayaan yang dimiliki Pakubuwono X, membuat beliau sebagai raja terkaya di
Hindia Belanda pada saat itu. Konon, busana-busana permaisuri GKR. Hemas
didatangkan langsung dari Belanda dan Perancis.
Pakubuwono X adalah orang Indonesia, bahkan orang Asia
Tenggara pertama yang tercatat sebagai pemilik mobil pada tahun 1894. Mobilnya
bermerk Benz, tipe Carl Benz, beroda empat. Diperlukan waktu satu tahun
persiapan pembuatannya, karena tipe ini memiliki banyak variasi sesuai dengan
pesanan Pakubuwono X sendiri. John.C.Potter seorang penjual mobil mendapat
kepercayaan untuk mengurusi pengirimannya dari Eropa. Mobil ini bekerja
dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh gubernur jenderal
di Batavia. Malahan ada kabar burung, bahwa dibelinya mobil Daimler tersebut
oleh Pakubuwono X, disebabkan karena beliau tidak mau kalah gengsi dengan si
gubernur jenderal. Sebelumnya, ketika gubernur jenderal masih menggunakan
mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak
seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Pakubuwono X memesan
mobil dari pabrik dan merk yang sama.
Selama pemerintahannya yang panjang,
dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan
13 residen secara silih berganti, Pakubuwono X mampu
menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai temanpemerintah Hindia
Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat
semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia
Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya
ketika naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893. Pakubuwono
X sadar sebagai cucu Pakubuwono VI yang pada
tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus
meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.
Petunjuk bahwa Pakubuwono X mempunyai kecenderungan terlibat
dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke
(1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwono
X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief,
surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya
berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwono
X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak
orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam.
Peranan Pakubuwono X sebagai imam bagi
masyarakat muslim di Surakarta, juga sangat
diperhitungkan Belanda.
Beliau secara terbuka atau diam-diam mendukung organisasi
politik kebangsaan pada awal abad ke-20. Beberapa pergerakan nasional juga
lahir di Surakarta, seperti Serikat Dagang Islam pada 1905. Budi Utomo yang
berdiri di Batavia (Jakarta), juga mendapatkan dukungan kuat dan banyak
beroperasi di Surakarta. Beliau pun aktif mendorong kerabat keraton untuk
belajar dan mendukung pergerakan nasional. Kongres Bahasa Indonesia
I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
“Main mata” SI dengan keraton Pakubuwono X boleh dikata
berawal di bulan September 1912. Dari sebelas orang pimpinan SI Solo, empat
orang di antaranya pejabat tinggi keraton. Kongresnya yang kedua
diselenggarakan di Sriwedari, sebuah taman dan tempat pertemuan milik
Pakubuwono X. Beberapa hari sebelum kongres dibuka, patih Sosrodiningrat
memberi tahu Van Wijk bahwa SI setempat meminta kepada putranya, RM.
Wuryaningrat, agar menjadi anggota kehormatan. Selanjutnya, atas perintah ayahnya,
Wuryaningrat menolak permintaan itu dengan pura-pura membuat alasan karena
anggaran dasar SI belum mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda.
Van Wijk lagi-lagi terkejut ketika pada malam menjelang pembukaan kongres
mendengar KGPH. Hangabehi terpilih sebagai pelindung SI.
Ketika ditanya oleh residen Belanda, Hangabehi mengatakan
bahwa keanggotaannya di SI baru dua hari, ia juga telah diundang hadir pada
rapat pendahuluan kongres. Ketika tiba-tiba diminta jadi pelindung, permintaan
itu langsung diterimanya, tanpa meminta nasihat dulu dari Susuhunan atau patih.
Kehadiran KGPH. Hangabehi memang mendapat sambutan hangat dari kongres. Secara
resmi pangeran itu terpilih sebagai pelindung. H. Samanhudi terpilih sebagai
ketua, dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. KRMA. Puspodiningrat – putra KRT.
Wiryodiningrat, penasihat Pakubuwono X yang paling terpercaya jadi ketua cabang
Jawa Tengah. Puspodiningrat waktu itu berpangkat bupati nayoko di keraton, ia
dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, yang antipati pada orang Eropa.
Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908)
berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwono X patut
diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali
mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah.
Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito,
kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa,
dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar
dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai
pencerminan tujuan politik Pakubuwono X yang hendak memperluas
pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat
ke Bali dan Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember 1921, Pakubuwono X melakukan
perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem.
Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwono
X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut,
ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwono X, sehingga merepotkan
polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwono X
mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi
dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi
justru benar-benar membuat citra Pakubuwono X semakin meningkat. Ia mengobral
banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati
menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan
asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.
Demi mendukung dan membangkitkan
semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwono X terus
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan
alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi
popularitas Pakubuwono X. Sekalipun perjalanan itu bersifatincognito,
tetapi Pakubuwono X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah
Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa
Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat
radikalisme Budi Utomo, Pakubuwono X tidak mengadakan perjalanan lagi pada
tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar
ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana
menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen
Nieuwenhuys mempersilahkan Pakubuwono X untuk segera pulang. Alasannya,
persyaratan incognito telah dilanggar.
Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwono X
mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan
dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya,
dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan
mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat
oleh Belanda.
Tindakan Pakubuwono X ini bahkan menyerempet-nyerempet
bahaya, kalau ditilik dari sangsi yang dapat dijatuhkan Belanda kepada beliau,
sehubungan dengan kontrak politik yang ditandatangani beliau pada
waktu naik tahta. Namun semua ini tidak diperdulikan Pakubuwono
X, bahkan beliau tidak pernah mau datang di kantor gubernur jika ada
urusan dinas yang perlu dibicarakan. Sebaliknya, gubernur-lah yang harus
menghadap ke keraton, dan itupun harus mengikuti protokuler, yaitu mengajukan
permohonan dulu jika hendak ketemu Pakubuwono X. Beliau adalah satu-satunya Raja Jawa yang
berani mengambil resiko ini. Beliau tetap menunjukkan kewibawaannya
sebagai ratu. Pakubuwono X sadar bahwa untuk mengadakan aksi militer
terhadap Belanda sudah tidak mungkin lagi, sejak Dinasti Mataram terpecah
menjadi dua kerajaan dan dua kadipaten. Namun Pakubuwono X tidak akan
melepaskan cita-citanya membangun kembali Mataram seperti semula. Kata seorang
gubernur Belanda, bahwa dalam mimpinya Pakubuwono X masih
membayangkan ini. Juga tidak akan dilupakan pesan yang ditinggalkan sang
eyang, Pakubuwono VI, yang wafat di tanah pembuangan, agar jangan lupa
mengambil tindakan terhadap Belanda.
Suasana pemakaman Pakubuwono X,
mulai ketika jenazah beliau dibawa dalam kereta jenazah, hingga kemudian
jenazah beliau dibawa dengan gerbong khusus menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, dan
iring-iringan pengantar jenazah beliau di Astana Pajimatan Imogiri.
Pada akhir bulan November 1938
Pakubuwono X sakit keras, dan akhirnya beliau wafat pada tanggal 20 Februari
1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborg
Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi menggantikan ayahandanya sebagai Pakubuwono
XI.
Sebuah harian yang meliput berita tentang wafatnya
Pakubuwono X, Febuari 1939. Tampak pada gambar Hamengkubuwono VIII memberi
penghormatan terakhir ketika kedatangan jenazah Pakubuwono X di Stasiun Tugu,
Yogyakarta.
Comments
Post a Comment