Sejarah Lahirnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Sejarah awal
berdirinya Keraton Surakarta tidak lepas dari peristiwa berdarah di Keraton Mataram
Kartasura yang runtuh akibat geger pecinan (thiong-hoa) yang dipimpin oleh
Raden Mas Garendi atau yang dikenal dengan nama Sunan Kuning yang merupakan
cucu Amangkurat III yang tinggal di Semarang. Keraton Mataram Kartasura memang
berusia belia, didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1680 dan runtuh
pada 1743 diera kepemimpinan Sunan Pakubuwono II.
Sebelum peristiwa berdarah itu,
Sunan Pakubuwono II telah bertitah dan bersumpah setia untuk mengusir kompeni
dari tanah jawa bersama pasukan Jawa dan pasukan pacinan (thiong-hoa). Namun,
karena lemahnya pasukan jawa dan pasukan pacinan (thiong-hoa), Sunan Pakubuwono
II berubah pikiran dan memilih bekerja sama dengan belanda demi mempertahankan
Keraton. Sikap Sunan Pakubuwono II ini menyulut menyerbuan yang dipimpin oleh
Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) yang merupakan sepupu Pakubuwono II sendiri.
Pada saat Keraton Mataram Kartasura
diserbu oleh kaum pemberontak yang terdiri dari para kaum pacinan dan pasukan
jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, Sunan Pakubuwono II yang tersingkir
dari tahta mengungsi selama sepekan di Ponorogo Jawa Timur dengan menyeberang
sungai Bengawan Solo. Selama menetap disana beliau dibantu oleh Bupati Ponorogo
untuk mengatur strategi memukul mundur pasukan jawa dan pasukan pacinan di
Kartasura. Setelah berhasil merebut kembali Kartasura, bangunan Keraton
Kartasura betul-betul hancur dan tidak dapat ditinggali.
Dalam kosmologi kerajaan di Jawa,
apabila kerajaan tersebut kalah dalam perang dan hancur maka sudah tak pantas
lagi untuk dibangun kembali, dan apabila dibangun kembali kerajaan tersebut
akan disepelekan oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Akhirnya Sunan Pakubuwono II
menghendaki pindah dari Kartasura ke Desa Solo dengan bantuan VOC.
Alasan mengapa Desa Sala dipilih
menjadi lokasi Keraton yang baru dikarenakan Desa Sala waktu itu sudah sangat
ramai. Dibuktikan lagi dengan adanya sungai Bengawan Solo yang berfungsi
sebagai pusat perdagangan masyarakat jawa waktu itu. Ada beberapa bandar sungai
yang dijadikan tempat dagang untuk menjual hasil bumi ke jawa bagian timur dan
sebaliknya. Bahkan letak penentuan lokasi Keraton didasarkan pada lokasinya
yang berdekatan dengan sungai Bengawan Solo. Kala itu Desa Solo dipimpin oleh
ketua adat bernama Ki Gede Solo. Sedangkan untuk membebaskan lokasi tanah yang
akan dibangun Keraton itu, Sunan harus membayar ganti rugi berupa uang kepada
penduduk sekitar. Pembangunan Keraton dimulai tahun 1743 dan selesai pada tahun
1745.
Setelah Keraton baru selesai dibangun, terjadi peristiwa “Boyong Kedaton”, peristiwa perpindahan Keraton Kartasura menuju Keraton baru di Desa Solo yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwono II dengan mengendarai kereta kencana Kyai Grudo. Mereka memboyong harta benda yang tersisa di Kartasura ke Keraton yang baru. Setelah tiba di Keraton yang baru, Sunan Pakubuwono II berdiri di Bangsal Pangrawit dan bersabda bahwa mulai hari ini Desa Solo berganti nama menjadi Surakarta Hadiningrat. Dengan demikian nama Surakarta itu ada pada 17 Februari 1745, dan pada tanggal itulah diperingati sebagai hari lahir Kota Surakarta (Solo).
Namun sejarah tidak berhenti disitu saja, pihak Belanda mensyaratkan agar Sunan Pakubuwono II membuka wilayah kuasa perdagangan untuk VOC dan memasukkannya dalam sistim atau struktur pemeritahan Keraton tepatnya di Kepatihan, karena Belanda lah yang telah membantu berdirinya Surakarta sehingga Sunan Pakubuwono II berhasil menduduki tahta Mataram kembali. Sebelum itu, dalam sistim Kerajaan Jawa, Kepatihan dijalankan oleh para patih dibawah titah Sunan(Raja). Pada tahun 1743, terjadi kesepakatan bahwa pengangkatan patih, bupati, dan para pejabat di Keraton harus melewati persetujuan pihak Kolonial. Dengan demikian Kepatihan menjadi urusan perpanjangan tangan Kompeni untuk memelihara urusan Keraton, dan Sunan Pakubuwono II waktu itu tidak dapat menolak kesepakatan atau kontrak politik tersebut. Inilah yang membuat pengaruh belanda sangat kuat dalam dinamika Kerajaan Dinasti Mataram Islam di Jawa.
Setelah Keraton baru selesai dibangun, terjadi peristiwa “Boyong Kedaton”, peristiwa perpindahan Keraton Kartasura menuju Keraton baru di Desa Solo yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwono II dengan mengendarai kereta kencana Kyai Grudo. Mereka memboyong harta benda yang tersisa di Kartasura ke Keraton yang baru. Setelah tiba di Keraton yang baru, Sunan Pakubuwono II berdiri di Bangsal Pangrawit dan bersabda bahwa mulai hari ini Desa Solo berganti nama menjadi Surakarta Hadiningrat. Dengan demikian nama Surakarta itu ada pada 17 Februari 1745, dan pada tanggal itulah diperingati sebagai hari lahir Kota Surakarta (Solo).
Namun sejarah tidak berhenti disitu saja, pihak Belanda mensyaratkan agar Sunan Pakubuwono II membuka wilayah kuasa perdagangan untuk VOC dan memasukkannya dalam sistim atau struktur pemeritahan Keraton tepatnya di Kepatihan, karena Belanda lah yang telah membantu berdirinya Surakarta sehingga Sunan Pakubuwono II berhasil menduduki tahta Mataram kembali. Sebelum itu, dalam sistim Kerajaan Jawa, Kepatihan dijalankan oleh para patih dibawah titah Sunan(Raja). Pada tahun 1743, terjadi kesepakatan bahwa pengangkatan patih, bupati, dan para pejabat di Keraton harus melewati persetujuan pihak Kolonial. Dengan demikian Kepatihan menjadi urusan perpanjangan tangan Kompeni untuk memelihara urusan Keraton, dan Sunan Pakubuwono II waktu itu tidak dapat menolak kesepakatan atau kontrak politik tersebut. Inilah yang membuat pengaruh belanda sangat kuat dalam dinamika Kerajaan Dinasti Mataram Islam di Jawa.
*hasil tulisan ini
adalah buah dari pembelajaran si penulis sendiri, dan juga didapatkan dari
sumber sumber terpercaya.
Comments
Post a Comment